halaman

Sabtu, 10 Oktober 2015

Pengembangan Peserta Didik (Pertemuan 4 )



Teori Nativisme, Empirisme, Konvergensi

Teori Nativisme
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini muncul dari filsafat nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran ini adalah Arthur Schopenhauer seorang filosof Jerman yang hidup tahun 1788-1880 dan Noam Chomsky pada awal tahun 1960.
Teori nativisme terbentuk sebagai bantahan terhadap teori behavioris.Nativisme berpendapat bahwa dalam proses pemerolehan bahasa pertama, anak perlahan menggunakan kemampuan lingualnya yang telah terprogram secara genetis. Sehingga menurut para pakar teori ini, lingkungan tidak mempunyai pengaruh dalam proses pemerolehan bahasa. Chomsky mengatakan bahwa bahasa terlalu kompleks untuk dipelajari dalam waktu dekat melalui metode imitation. Sehingga ia menegaskan bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, karena:
1) Perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), pola perkembangan bahasa berlaku universal, dan lingkungannya hanya memiliki peran kecil dalam proses pematangan bahasa.
2) Bahasa dapat dikuasai dalam waktu singkat, tidak bergantung pada lamanya latihan seperti pendapat kaum behaviorisme.
Melalui teori ini Arthur Schopenhauer juga menegaskan bahwasannya yang buruk akan menjadi buruk dan yang baik akan menjadi baik tanpa terpengaruh lingkungan yang ada.
Salah satu kontribusi praktis dari teori-teori nativis ini adalah tentang sistem bahasa anak-anak bekerja. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa anak-anak pada tingkatan manapun adalah suatu sistem yang diakui. Perkembangan linguistik anak-anak bukanlah proses semakin berkurangnya struktur-struktur yang tidak tepat bukan sebuah bahasa dimana tahap sebelumnya mengandung lebih banyak kekeliruan ketimbang tahap selanjutnya. Justru, bahasa anak-anak disetiap tahap adalah sistematis, dalam arti anak-anak secara bertahap membentuk hipotesis-hipotesis itu dalam percakapan. Ketika bahasa mereka berkembang maka hipotesis-hipotesis tersebut direvisi terus menerus, dibentuk ulang atau ditinggalkan.
a. Kelebihan
1. Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
Dengan teori ini diharapkan manusia bisa mengoptimalkann bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Dengan adanya hal ini, memudahkan manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar terhadap kemajuan dirinya.
2.Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
Jadi dengan teori ini diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya pengembangan bakat dan minat agar menjadi manusia yang berkompeten sehingga bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman sekarang yang semakin lama semakin dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul daripada yang lain.
3.Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
Adanya teori ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya, dan apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalh yang terbaik untuk dirinya.
4. Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang.
Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang dimilii agar manusia itu memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jati diri manusia.
5. Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Dengan adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, dengan artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan bakatnya sehingga bisa lebih optimal.
b. Kekurangan
Teori ini memiliki pandangan seolah-olah sifat-sifat manusia tidak bisa diubah karena telah ditentukan oleh sifat-sifat turunannya. Bila dari keturunan baik maka akan baik dan bila dari keturunan jahat maka akan menjadi jahat. Jadi sifat manusia bersifat permanen tidak bisa diubah. Teori ini memandang pendidikan sebagai suatu yang pesimistis serta mendeskreditkan golongan manusia yang “kebetulan” memiliki keturunan yang tidak baik.

Teori Empirisme
Nama asli teori ini adalah “The school of British Empiricism” (teori empirisme Inggris). Pelopor teori ini adalah John Locke (1632-1704). teori ini mengemukakan bahwa manusia dilahirkan seperti kertas kosong (putih) yang belum ditulis (teori tabularasa). Jadi sejak dilahirkan anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa dan anak dibentuk sekehendak pendidiknya. Disini kekuatan apa pada pendidik, pendidikan dan lingkungannya yang berkuasa atas pembentukan anak.
Teori empirisme ini merupakan kebalikan dari teori nativisme karena menganggap bahwa potensi atau pembawaan yang dimiliki seseorang itu sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam upaya pendidikan. Semuanya ditentukan oleh faktor lingkungan yaitu pendidikan. Teori ini disebut juga dengan Sosiologisme, karena sepenuhnya mementingkan atau menekankan pengaruh dari luar. Dalam ilmu pendidikan teori ini dikenal sebagai pandangan optimisme paedagogis.

Teori  Konvergensi

Teori ini pada intinya merupakan perpaduan antara pandangan nativisme dan empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Tokoh utama teori konvergensi adalah Louis William Stern (1871-1938), seorang filosof sekaligus sebagai psikolog Jerman.
Teori ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor pengalaman (lingkungan). Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Perkembangan yang sehat akan berkembang jika kombinsai dari fasilitas yang diberikan oleh lingkungan dan potensialitas kodrati seseorang bisa mendorong berfungsinya segenap kemampuannya. Dan kondisi sosial menjadi sangat tidak sehat apabila segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi psiko-fisiknya.
Dengan demikian, keadaan ini dapat dinyatakan bahwa faktor pembawaan maupun pengaruh lingkungan yang berdiri sendiri tidak dapat menentukan secara mutlak dan bukan satu-satunya faktor yang menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar