Teori Nativisme, Empirisme, Konvergensi
Teori Nativisme
Nativisme
berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini muncul dari
filsafat nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan
menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas,
pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran ini adalah
Arthur Schopenhauer seorang filosof Jerman yang hidup tahun 1788-1880 dan Noam
Chomsky pada awal tahun 1960.
Teori
nativisme terbentuk sebagai bantahan terhadap teori behavioris.Nativisme
berpendapat bahwa dalam proses pemerolehan bahasa pertama, anak perlahan
menggunakan kemampuan lingualnya yang telah terprogram secara genetis. Sehingga
menurut para pakar teori ini, lingkungan tidak mempunyai pengaruh dalam proses
pemerolehan bahasa. Chomsky mengatakan bahwa bahasa terlalu kompleks untuk
dipelajari dalam waktu dekat melalui metode imitation. Sehingga ia menegaskan
bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, karena:
1) Perilaku berbahasa adalah sesuatu
yang diturunkan (genetik), pola perkembangan bahasa berlaku universal, dan
lingkungannya hanya memiliki peran kecil dalam proses pematangan bahasa.
2) Bahasa dapat dikuasai dalam waktu
singkat, tidak bergantung pada lamanya latihan seperti pendapat kaum
behaviorisme.
Melalui
teori ini Arthur Schopenhauer juga menegaskan bahwasannya yang buruk akan
menjadi buruk dan yang baik akan menjadi baik tanpa terpengaruh lingkungan yang
ada.
Salah satu kontribusi praktis dari teori-teori nativis ini adalah tentang sistem bahasa anak-anak bekerja. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa anak-anak pada tingkatan manapun adalah suatu sistem yang diakui. Perkembangan linguistik anak-anak bukanlah proses semakin berkurangnya struktur-struktur yang tidak tepat bukan sebuah bahasa dimana tahap sebelumnya mengandung lebih banyak kekeliruan ketimbang tahap selanjutnya. Justru, bahasa anak-anak disetiap tahap adalah sistematis, dalam arti anak-anak secara bertahap membentuk hipotesis-hipotesis itu dalam percakapan. Ketika bahasa mereka berkembang maka hipotesis-hipotesis tersebut direvisi terus menerus, dibentuk ulang atau ditinggalkan.
Salah satu kontribusi praktis dari teori-teori nativis ini adalah tentang sistem bahasa anak-anak bekerja. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa anak-anak pada tingkatan manapun adalah suatu sistem yang diakui. Perkembangan linguistik anak-anak bukanlah proses semakin berkurangnya struktur-struktur yang tidak tepat bukan sebuah bahasa dimana tahap sebelumnya mengandung lebih banyak kekeliruan ketimbang tahap selanjutnya. Justru, bahasa anak-anak disetiap tahap adalah sistematis, dalam arti anak-anak secara bertahap membentuk hipotesis-hipotesis itu dalam percakapan. Ketika bahasa mereka berkembang maka hipotesis-hipotesis tersebut direvisi terus menerus, dibentuk ulang atau ditinggalkan.
a. Kelebihan
1. Mampu memunculkan bakat yang
dimiliki
Dengan
teori ini diharapkan manusia bisa mengoptimalkann bakat yang dimiliki
dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Dengan adanya hal
ini, memudahkan manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar
terhadap kemajuan dirinya.
2.Mendorong manusia mewujudkan diri
yang berkompetensi
Jadi
dengan teori ini diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif
dalam upaya pengembangan bakat dan minat agar menjadi manusia yang berkompeten
sehingga bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman
sekarang yang semakin lama semakin dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten
lebih unggul daripada yang lain.
3.Mendorong manusia dalam menetukan
pilihan
Adanya
teori ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya,
dan apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan
berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang
dipilihnya adalh yang terbaik untuk dirinya.
4. Mendorong manusia untuk
mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang.
Teori
ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan
potensi diri yang dimilii agar manusia itu memiliki ciri khas atau ciri khusus
sebagai jati diri manusia.
5. Mendorong manusia mengenali bakat
minat yang dimiliki
Dengan
adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, dengan
artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu
manusia dapat lebih memaksimalkan bakatnya sehingga bisa lebih optimal.
b. Kekurangan
Teori
ini memiliki pandangan seolah-olah sifat-sifat manusia tidak bisa diubah karena
telah ditentukan oleh sifat-sifat turunannya. Bila dari keturunan baik maka
akan baik dan bila dari keturunan jahat maka akan menjadi jahat. Jadi sifat
manusia bersifat permanen tidak bisa diubah. Teori ini memandang pendidikan
sebagai suatu yang pesimistis serta mendeskreditkan golongan manusia yang
“kebetulan” memiliki keturunan yang tidak baik.
Teori
Empirisme
Nama asli teori ini adalah “The
school of British Empiricism” (teori empirisme Inggris). Pelopor teori ini adalah John Locke
(1632-1704). teori
ini mengemukakan bahwa manusia dilahirkan seperti kertas kosong (putih) yang
belum ditulis (teori tabularasa). Jadi sejak dilahirkan anak itu tidak
mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa dan anak dibentuk sekehendak pendidiknya.
Disini kekuatan apa pada pendidik, pendidikan dan lingkungannya yang berkuasa
atas pembentukan anak.
Teori empirisme ini merupakan kebalikan dari teori nativisme
karena menganggap bahwa potensi atau pembawaan yang dimiliki seseorang itu sama
sekali tidak ada pengaruhnya dalam upaya pendidikan. Semuanya ditentukan oleh
faktor lingkungan yaitu pendidikan. Teori ini disebut juga dengan
Sosiologisme, karena sepenuhnya mementingkan atau menekankan pengaruh dari
luar. Dalam ilmu pendidikan teori ini
dikenal sebagai pandangan optimisme paedagogis.
Teori
Konvergensi
Teori ini pada intinya merupakan
perpaduan antara pandangan nativisme dan empirisme, yang keduanya dipandang
sangat berat sebelah. Tokoh utama teori konvergensi adalah Louis William Stern
(1871-1938), seorang filosof sekaligus
sebagai psikolog Jerman.
Teori ini menggabungkan arti penting
hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam
perkembangan manusia.
Faktor
pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor pengalaman (lingkungan). Demikian pula
sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan mampu
mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.
Perkembangan yang sehat akan berkembang
jika kombinsai dari fasilitas yang diberikan oleh lingkungan dan potensialitas
kodrati seseorang bisa
mendorong berfungsinya segenap kemampuannya. Dan kondisi sosial menjadi sangat tidak sehat apabila
segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi psiko-fisiknya.
Dengan demikian, keadaan ini dapat
dinyatakan bahwa faktor pembawaan maupun pengaruh lingkungan yang berdiri
sendiri tidak dapat menentukan secara mutlak dan bukan satu-satunya faktor yang
menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar